Pelayanan Konseling Kristen Profesional
Dari Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia
Reformed Broadcasting Ministry
Reformed Broadcasting Ministry
Konseling Online
Pelayanan konseling gratis online tersedia bagi Anda!
Buku Konseling Pastoral
Telah terbit buku Konseling Pastoral

Jumlah Pengunjung

3710455
Today
Yesterday
This Month
876
2927
18074


Oleh: Pdt. Yakub Susabda, Ph.D.

Pendahuluan
Teologi adalah bahasa yang menyingkapkan konsep pemikiran manusia tentang Allah dan kebenaran-kebenaran-Nya. Allah adalah Allah yang "incomprehensible but knowable." Meskipun la tidak pernah terbelenggu dalam persepsi dan pemahaman manusia, la di dalam kerelaan anugerah-Nya telah memberikan diri-Nya untuk dikenali orangorang percaya.

Natur dari pengenalan itu tidak pernah mandeg (berhenti), oleh sebab itu pertanyaan "bagaimana masa depan pemikiran teologi" adalah suatu pertanyaan yang tepat, bukan hanya untuk jaman ini tetapi juga untuk segala jaman. Umat Kristiani (yang existensinya "selalu berada di tengah jalan") harus selalu mempertanyakan pertanyaan tersebut. Bagaimanakah masa depan pemikiran teologi Kristen?

Sejarah menyingkapkan realita yang tidak sesuai dengan "ideal" yang baru saja disebutkan. Umat Kristiani selalu mengulang sejarah kesalahan dari umat Allah. Sama seperti umat Israel, mereka seringkali ingin kembali ke masa lampau (merindukan kehidupan di Mesir yaitu kehidupan umat tanpa pertanggungjawaban iman) atau kadangkadang bahkan menikmati "status quo" (merasa cukup puas dengan "oase" yang ditemukan di tengah jalan). Seringkali kita mendengar kata-kata: "Kalau pemikiran teologi yang sudah ada sudah cukup baik, mengapa perlu dipertanyakan atau diperbaharui lagi?"

Bicara tentang masa depan pemikiran teologi, umat Kristiani benar-benar menghadapi tantangan yang besar.

Pembahasan
Menurut pengamatan penulis saat ini, masa depan pemikiran teologi di Indonesia akan ditandai oleh beberapa gejala sbb:

1. Pengembangan pemikiran Teologi kontekstual makin diperlukan.
Teologi adalah pertanggungjawaban iman sesuai dengan keunikan pengalaman pribadi (menyangkut keunikan watak, temperament, life structure dan pengalaman-pengalaman pribadi) dan keunikan pengalaman gereja (keunikan pengalaman pribadi-pribadi dalam interaksinya dengan sesamanya dalam konteks pertanggungjawaban bergereja) di tengah konteks kehidupan yang real.

Oleh sebab itu, perkembangan pemikiran teologi di Indonesia tidak seharusnya sama dengan perkembangan pemikiran teologi di Eropa (mis: abad ke 15-17), meskipun inti dasar prinsip-prinsip pergumulannya tidak seharusnya berbeda atau bertentangan.

Kita hidup di tengah konteks kebudayaan dan sikon Indonesia. Kita seharusnya dapat mengembangkan pemikiran teologi sebagai pertanggungjawaban iman kita di tengah situasi kondisi yang unik ini. Apa jawab kita dan apa panggilan Allah di tengah realita yang kita hadapi di Indonesia di akhir abad XX ini? Tanpa pengembangan teologi kontekstual (yang murni) gereja akan menjadi kumpulan orang yang berilusi dan atau berdelusi. Contoh teologi kontekstual:

a. Pemikiran teologi Pancasila.

b. Pemikiran teologi toleransi yang memungkinkan terciptanya dialog dengan sesama umat beragama.

c. Pemikiran teologi pertanggungjawaban di tengah konteks Bhineka Tunggal Ika.

d. Pemikiran teologi business, urbanisasi, sosial, globalisasi, penggalian sumberdaya manusia, hubungan iman dan ilmu pengetahuan, teologi Pekabaran Injil di tengah konteks Indonesia, dan dalam menyongsong Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT, II th 1994-2019) kita perlu mengembangkan teologi pembangunan bangsa dan negara.

2. Perkembangan pemikiran Teologi awam akan menjadi semakin tidak terkendali.
Kita berada di tengah proses transformasi bidang pendidikan yang terjadi di seluruh dunia dan dalam segala bidang. Perubahan tersebut pada dasarnya bergeser dari persepsi mengenai pendidikan sebagai kegiatan dalam menara gading ke arah pendidikan yang relevan dengan kehidupan kebutuhan masyarakat dan bahkan menjadi pelopor pembaharuan. Di tengah pergeseran dan proses perubahan ini, sekolah-sekolah tinggi teologi akan terpaksa memperbaharui kurikulum dan sistem evalusi studinya. Segi cognitif pendidikan teologi tetap akan mendapat prioritas yang tinggi, namun masalah integrasi antara teologi dengan kehidupan yang nyata akan menjadi tolok ukur keberhasilan suatu pendidikan.

Kegagalan untuk dapat menempatkan diri di tengah proses sejarah ini akan menghasilkan keterkiliran/dysequilibrium yang menuntut suatu penyelesaian yang segera. Siapa yang berhasil sebagai pihak yang pertama masuk ke dalam arena, ialah yang akan mengarahkan seluruh pola berpikir jaman ini. Sebagai contoh:

a. Dalam dunia usaha.
Kebutuhan akan tenaga-tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan-perusahaan akan telah memaksa perusahaan-perusahaan raksasa di dunia untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikannya sendiri. Tercatat lebih dari 25 perusahaan di Amerika yang telah melaksanakan pendidikan yang memberikan gelar. Perusahaan Wang (computer), Northtrop dan Arthur Anderson telah memberikan gelar Master dan Rand Corporation memberikan gelar Ph.D. bukan hanya untuk karyawannya tetapi juga untuk umum. Tercatat lebih dari 400 kampus yang sekarang ini menjadi milik perusahaan-perusahaan raksasa seperti Xerox, IBM, Pizer dan perusahaan-perusahaan Jepang. IBM saja telah menghabiskan US$ 700 juta setahun untuk pendidikan bagi karyawan-karyawannya.

Kesadaran akan pentingnya "pemenuhan kebutuhan masyarakat" telah menimbulkan trend dalam orientasi pendidikan-pendidikan tinggi jaman ini. Jaman ini usahawanusahawan yang berhasil telah dinilai sebagai pemimpin-pemimpin yang berhasil pula. Amerika tidak ragu-ragu mencalonkan seorang usahawan, Ross Perot, sebagai calon presiden dalam PEMILU yang baru lalu dan beberapa universitas telah berani mengangkat usahawan sebagai rektor mereka. Trinity University di San Antonio tiba-tiba telah menjadi 1 dari 10 besar hanya oleh karena rektornya diganti oleh seorang usahawan.

b. Dalam dunia kehidupan Kristiani.
Keterlambatan sekolah-sekolah teologi untuk dapat mengembangkan pemikiran teologi yang sesuai dengan kebutuhan jamannya telah mengakibatkan kebangkitan pemikiran teologi awam yang "tak terkendali" di akhir abad XX ini. Munculnya teologi awam yang kacau (yang dimanifestasikan oleh gerakan kharismatik dengan segala ekses dari tafsiran-tafsiran Alkitabnya) akan semakin diakui sebagai salah satu teologi Kristen yang sah. Sebaliknya teologi Orthodox (Reformed, misalnya) yang tidak berhasil "memformulasikan dirinya" ke dalam bahasa jaman ini, akan menjadi "trademark" barang antik. yang diakui ketinggian nilainya tetapi sudah kehilangan fungsinya yang semula sebagai "suara Allah untuk jamannya".

3. Pengembangan pemikiran teologi makin lama makin menjadi bagian dari suatu profesionalisme.
Akibatnya kemurnian pemikiran teologi yang pernah mencapai puncaknya di abad Renaissance dan Reformasi (1417 AD) hanya akan menjadi kenangan indah di masa lampau. Program pendidikan teologi dengan "academic degree" makin lama makin kehilangan kemurniannya. Sekarang ini, barangkali 6070 dari Ph.D. degree program di seluruh dunia tak lain daripada suatu "professional degree program."

Lulusan pendidikan tinggi selama Repelita V, VI dan VII akan mengalami kenaikan sebesar 17-18% setahun. Pertumbuhan angkatan kerja tamatan universitas mengalami pertumbuhan 8,42% atau 42.000 orang per tahun dan sebagian besar tidak akan tertampung (akan menganggur). Makin lama lulusan SMA akan cenderung mencari bidang studi yang tidak sesuai dengan bakat/talenta yangAllah berikan padanya. Sebagian besar mahasiswa/i sekolah tinggi teologi adalah individu-individu yang memilih bidang studi teologi oleh karena terpaksa (tidak diterima di sekolah yang lain), atau oleh karena alasan security jaminan masa depan (job opportunity).

Daya tampung perguruan tinggi terhadap lulusan SMA juga semakin kecil. Tahun 1988, misalnya, ada 1.048.841 lulusan SMA dan yang diserap oleh Perguruan Tinggi hanya 13,4%, dan th 1990 dengan 1.131.067 lulusan SMA hanya 147.703 orang atau 13,05%yang tertampung di perguruan-perguruan tinggi. Akibatnya sekolah-sekolah tinggi teologi akan tetap "laku" tetapi kwalifikasi mahasiswa/inya akan mengalami kemerosotan (kalau Sekolah Tinggi Teologi tidak memiliki sistem penyeleksian yang baik).

Dengan demikian pengembangan pemikiran teologi di masa yang akan datang akan mengalami hambatan yang besar, dan sekarang ini sudah benar-benar mulai dirasakan. Sedikit sekali hamba-hamba Tuhan yang benar-benar kwalified, dan di Indonesia kita belum menjumpai seorang teolog pun (yang betul-betul secara murni mengembangkan pemikiran teologinya secara sistematis).Masa depan pengembangan pemikiran teologi benar-benar.

4. Teolog kaum Injili akan dibangun di atas landasan "sectarian psychological structure."
Mengamati kehidupan dan perkembangan dari kelompok-kelompok "Injili" di Indonesia yang terpecah-belah (dimana pemimpin-pemimpinnya tidak dapat bekerja sama) kita sulit untuk bisa mengharapkan akan adanya pengembangan pemikiran teologi Injili di masa-masa yang akan datang. Consortium antar sekolah tinggi teologi Injili hanya akan menjadi teori yang kosong, karena masing-masing sekolah tinggi teologi hanya berorientasi pada kepentingan "nama dan kebesaran" dirinya sendiri.

Hampir setiap sekolah tinggi teologi Injiil di Indonesia berilusi bahwa sekolah mereka sendirilah yang "paling baik dan yang paling bisa diharapkan untuk pengembangan pemikiran teologi Injili" di Indonesia. Padahal dengan "popularity orientation" (orientasi yang sematamata pada nama dan jumlah) pengembangan pemikiran teologi tidak akan mendapat perhatian yang serius dan tidak akan pernah dikerjakan benar-benar.

Hampir setiap sekolah tinggi teologi Injili tak mempunyai kaderkader untuk pengembangan pemikiran teologi. Yang ada hanyalah "pengikut-pengikut dari seorang pengkhotbah besar." Dan ini terjadi oleh karena kaum Injili selalu mendapatkan kader-kademya lewat sarana "penginjilan" dan bukan lewat “pendidikan gereja”. Akibatnya kalaupun mereka menyerahkan diri dan menjadi mahasiswa/I sekolah tinggi teologi, mereka hanya mempunyai target studi dengan orientasi praktis, yaitu mengumpulkan bahan dan melatih diri untuk dapat menjadi “penginjil yang populer”, dan bukan untuk menjadi seorang teolog. Di tangan kaum Injili, sekolah tinggi teologi berubah menjadi “akademi-akademi penginjilan”. Masa depan pengembangan pemikiran teologi Injili di Indonesia kabur. Gereja makin tidak berperan di tengah dunia oleh karena gereja tidak dapat memberikan sumbangan apa-apa kepada dunia dalam kebutuhan mereka.

Catatan: Program gelar S.Th., M.Div., dan D.Min. yang dikhususkan untuk pelayan penggembalaan dalam konteks gereja lokal, dan program gelar M.Th., dan Doktoral (Ph.D., Th.D., dsb) yang diarahkan untuk pengembangan pemikiran teologi, harus dapat dibedakan secara jelas dari program MA untuk Mission dan Evangelization.

Disampaikan dalam Konsultasi Teologi Peringatan ULTAH Pelayanan Pdt.Dr. Stephen Tong Jakarta, December 16,1992.

Daftar Konselor

Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
Esther Susabda, Ph.D.
Dr. Ir. Asriningrum Utami
Lanny Pranata, M.Th.
Siska Tampenawas, M.Th.
Lucia Indrakusuma, M.A.
Esther Gunawan, M.Th.
Vivi Handoyo, M.Th.
Debby M. Soeseno, M.Th.
Suherni Santoso, M.A.
Yohanna P. Siahaan, M.Th.
Yonathan A. Goei, Ph.D.
Sandra Mayawati, M.Th.
Suzanna Sibuea, M.Th.
Dan lain-lain.

Konseling Online

Jadwal Konseling Online
Senin-Jumat
(Kecuali Hari Libur)
10.30-12.00 WIB dan 20.00-22.00 WIB

Tentang Kami

Kontak Info

STT Reformed Indonesia (STTRI, dulu STTRII)
Jl. Kemang Utara IX/10, Warung Buncit
Jakarta Selatan, 12760
(Peta lokasi bisa dilihat/diunduh di sini.)

Telp            : (021) 7982819, 7990357
Fax            : (021) 7987437
Email          : reformed@idola.net.id
Website      : www.reformedindonesia.ac.id
    www.konselingkristen.org
Bank          : CIMB Niaga (Cabang Kemang)
No. Acc.     : 800073329000 (Rp.)
                      253.02.00081.001 (USD)
A/n              : Yayasan Lembaga Reformed Indonesia