Jumlah Pengunjung

3689700
Today
Yesterday
This Month
1047
2157
23390


Oleh: Pdt Yakub Susabda, Ph.D.

Paradigma adalah sebuah kata yang sulit untuk diterjemahkan. Kata itu sendiri berasal dari dua akar kata yaitu para yang artinya "beside/disamping" dan deigma yang artinya " example/contoh atau model." Jadi biasanya paradigma diartikan "new way of seeing or interpreting something" di samping atau selain cara atau model yang selama ini telah dipakai. Munculnya cara yang baru untuk melihat dan menafsirkan realita hidup ini seringkali terjadi secara gradual/bertahap bersamaan dengan perubahan hidup itu sendiri. Sehingga paradigma seringkali dikaitkan dengan perubahan fase sejarah dimana manusia harus merubah cara pandang dan cara menafsirkan realita atau ia akan kehilangan peran-peran utamanya ditengah kehidupan ini. Kegagalan memahami krusialitas kepentingan hal ini adalah kegagalan membaca tanda-tanda jaman yang Allah sediakan (Mat 16:1-4). Alkitab berulangkali menyaksikan tentang sikap Allah, nabi-nabi bahkan Tuhan Yesus yang meresponi paradigma jaman-Nya dengan cara menafsirkan kebenaran secara baru. Meskipun banyak orang tidak setuju, salah mengerti, marah dan menganggap-Nya merombak hukum Allah, Ia mengklaim bahwa itu justru merupakan penggenapan hukum (Mat 5:17-18). Hukum hari sabat yang ditafsirkan begitu keras dalam jaman Musa (Bil 15:32-36), misalnya, mendapat penggenapan sesuai dengan paradigma yang baru dalam Perjanjian Baru ( Mat 12:1-8). Setiap bagian dari kotbah di bukit adalah penafsiran Tuhan atas kebenaran firman Allah dalam konteks paradigma yang baru (Mat 5-7). Allah tak pernah jadi pecundang dan kebenaranNya akan selalu hadir menembus kondisi sejarah dengan paradigma apapun juga, termasuk paradigma ditengah fase cyberspace tahapan kini.

Memang sulit dibayangkan (karena keterbatasan daya tampung sesaat dari otak manusia) bahwa manusia sudah berada di dalam dunia dengan dimensi maya "cyberspace" seperti sekarang ini. Dengan seperangkat komputer (bahkan akan segera dengan ponsel yang begitu kecil dan ringan) setiap individu bisa memenuhi hampir semua kebutuhannya dalam komunikasi. Dalam dunia "cyberspace" manusia bisa mengalami pertemuan dan interaksi pribadi yang betul-betui intensif dan mendalam tanpa memerlukan perkenalan.  Seolah-olah manusia tak perlu lagi menjadi manusia yang seutuhnya untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya. Setiap pribadi dapat berhubungan dengan apa dan siapa saja bahkan dapat dengan mudah memperoleh pemenuhan dari fantasi apa saja yang dinginkan hatinya langsung dari mana saja. Dengan demikian,  kemampuan memakai bahasa komputer dan memainkan keyboard sangat mungkin akan segera menggantikan "bakat sosial" komunikasi manusia yang seutuhnya. Dengan paradigma yang baru ini, manusia tak perlu lagi menghadirkan identitas jati dirinya karena mimik, gesture, nada bicara, sikap, pandangan mata, bahkan senyum dan air mata tidak lagi penting.   Dengan demikian momentum sejarah perjumpaan dan interaksi antar manusia makin lama makin tidak pribadi sifatnya.   Pertanggung-jawaban manusia akan mengalami deteriorisasi kembali ke "death instincts" karena manifestasi simbolik identitas manusia justru tidak mempunyai kedalaman makna lagi. Manusia tidak lagi menjadi "somebody who", tetapi "something what and how." Benarlah yang dikatakan Veith & Stamper bahwa:

"We are entering a post-human era in which the limits of the body-including the physical facts of gender, race, appearance, and sexual orientation-will soon be transcended. No one knows who you are online. Your mind alone matters. Your physical body means nothing. The limits of the material universe will be transcended, so that we will exist in a state of true "spirituality" in a universe that we will have created for our selves"

("Christians in a Dot Corn World" Wheaton. Il: Crossbooks. 2000. p.19)

Akibatnya, hidup dengan paradigma yang baru ini menggeser banyak sekali peran sentral pelayanan dan kehidupan Kristiani yang selama berabad-abad telah menjadi identitasnya. Sekarang hamba-hamba Tuhan dapat belajar untuk mendapatkan degree tanpa tatap muka, tanpa pengujian motivasi dan kelayakan. Sapaan pribadi yang tulus dalam penggembalaan dan perkunjungan hamba-hamba Tuhan juga bisa diwakilkan dengan kalimat-kalimat e-mail yang dengan satu "klik" dapat diterima oleh hampir setiap anggota jemaat. Praktis memang tetapi semuanya sama, karena keunikan setiap pribadi sudah tidak penting lagi. Gereja, tubuh Kristus meleleh menjadi semakin cair tak berwujud ditengah dunia spiritual yang manusia ciptakan untuk diri mereka sendiri. Dunia "electronic brain" dimana tubuh dan wujud individu tidak lagi penting, bahkan otak tak lagi dipakai dengan cara yang sehat untuk memroses data, manusia tak perlu lagi mengingat (me-recall memory) dengan pertanggungjawaban seorang individu, dan hubungan antara pengambilan keputusan dan tanggung-jawab menjadi relatif (A.Toffler, "Future Shock", N.Y: Random: 1970, p.30).

Memang komputer telah menghadirkan berbagai macam kemudahan sehingga kecanggihannya dapat dimanfaatkan untuk kebaikan. Tetapi komputer juga menghadirkan budaya baru yang kosong dan adiktif sifatnya. Manusia bisa berjam-jam memasuki proses "searching" data atau informasi dan "creating" inovasi yang sangat penting untuk kehidupan. Tetapi dengan komputer manusia juga bisa memanjakan seleranya yang sia-sia melalui "games, junk e-mail, dan cyber-porn."

Berada ditengah dunia dengan paradigma yang baru ini keKristenan membutuhkan kewaspadaan dan manifestasi iman yang barn pula. Apa yang dulu pemah OK dan efektif mungkin sekarang tidak lagi.

Pertama, dalam menghadapi gejala consumerism Firman Tuhan
Dunia "cyberspace" merupakan manifestasi dari spirit "kemudahan dalam segala sesuatu" yang sekarang ini sudah hadir dalam hidup manusia, termasuk kemudahan untuk mendapatkan firman Tuhan. Firman yang naturnya begitu mahal (bukan "cheap grace") yang unconditional dan tergantung semata-mata pada kebebasan dan kedaulatan Allah, sekarang menjadi firman yang murah, gampang didapat, berlimpah, dan tersedia/available kapan dan dimana saja manusia kehendaki. Sarananya bisa apa saja, baik rekaman ataupun kemudahan menghadiri kebaktian yang setiap hari ada dimana-mana. Sehingga mereka yang terjerat "'consumerism firman" akan mencari, mengkoleksi, dan terus-menerus mendengarkan firman tetapi tak pernah ada yang  secara  sungguh-sungguh  dicerna dan diaplikasikan. Firman yang sejam yang lalu belum sempat dicema, sudah disusul dengan hadirnya firman yang baru, begitulah seterusnya. Benar yang disinyalir Paulus bahwa manusia akhir jaman adalah manusia "yang selalu mau diajar tetapi tidak pernah mengenal kebenaran" (II Tim 3:7). Mereka seperti kanak-kanak yang "jenuh" bennain sehingga tidak lagi berespon meskipun di tengah permainan (Mat 11:16-17). Dalam dunia "kemudahan" ini manusia hanya memuaskan kehausan "knowing" tanpa mempunyai "drive/dorongan untuk doing". Inilah paradigma ditengah dunia "cyberspace" sekarang ini. Apa yang harus kita perbuat?

Memang finnan Tuhan hams diberitakan, tetapi kapan, dimana dan bagaimana, sekarang menjadi pertanyaan yang sangat krusial.    Peringatan untuk "'tidak melemparkan mutiaramu pada babi " (Mat 7:6) sekarang ini hadir dalam konteks paradigma yang baru. Tanpa pemahaman akan paradigma yang baru ini, gereja tak mungkin dapat terbebas dari jerat budaya "cyberspace" dan tak mungkin dapat menolak untuk ikut dalam: (a) meramaikan pasaran firman dengan menambah acara "pemberitaan firman" di radio, TV dan situs-situs internet yang sudah "overload" dan (b) menambah jumlah "cabang gereja" di kota-kota besar yang menjadi stasiun pemberitaan firman ditengah realita kapasitas yang sudah melampaui kebutuhan.   Gereja harus waspada bahwa yang gereja butuhkan bukanlah "nama untuk membangun dirinya sendiri" tetapi kerja-sama dengan gereja-gereja lain yang seiman dan ... bijaksana surgawi untuk dapat mencipta "counterculture" sehingga pemberitaan firman Tuhan menjadi mutiara yang mahal yang dicari dengan pengurbanan.

Kedua, dalam menghadapi gejala dehumanisasi individu jemaat anggota tubuh Kristus
Di dunia "cyberspace" jati diri individu tidak penting lagi. Kepentingan komunikasi pribadi sudah digantikan dengan pertukaran informasi dan interpretasi. Upaya membangun manusia sudah berubah menjadi upaya untuk mencapai berbagai "achievement dan target", termasuk "achievement dan target-target" gereja yang "wah" di kota-kota besar (mereka tidak tertarik pada kota-kota kecil). Manusia hanyalah "sarana." Anggota jemaat hanyalah "alat". Siapa dia tidak penting karena yang penting dari dirinya hanyalah sumbangan (uang dan kehadiran untuk meramaikan market)   untuk ikut membangun eksistensi yang baru dari gereja ditengah dunia "cyberspace" yang kompetitif.

Skandal budaya yang sangat menyedihkan ini hadir dalam hampir setiap jiwa manusia. Tidak heran jikalau jemaat tidak keberatan diperlakukan "bukan sebagai manusia seutuhnya" karena mereka merasa kebutuhan-kebutuhan "instinctual" mereka terpenuhi ditengah paradigma jaman ini. Barangkali tepat yang dikatakan R.C. Sproul bahwa " ... culture becomes increasingly hostile to biblical Christianity (yang menekankan pembangunan tubuh melalui pembangunan setiap anggotanya) and our faith is deemed more and more irrelevant to modern society. Ours has been described as the post-Christian era" ("Willing to Believe" Grand Rapids, MI.: Baker, 1998. p.16).
 

Bagaimana sekarang? Allah dalam Kristus Yesus adalah Allah yang hidup. Kegagalan untuk memelihara "Christian Era" adalah kegagalan ditengah paradigma jaman ini. Oleh sebab itu gereja harus waspada, karena yang gereja perlukan bukanlah adaptasi dalam arti penyesuaian diri ditengah paradigma jaman ini, tetapi adaptasi dalam arti kemampuan membaca dan meresponi tanda-tanda jaman ini. Gereja sebagai tubuh Kristus hanya dapat berperan jikalau anggota-anggotanya tumbuh dan berfungsi sesuai dengan panggilan-Nya. Fokus gereja harus kembali kepada kepentingan setiap individu anggauta jemaat, sehingga persekutuan dan kelompok-kelompok tumbuh bersama jauh lebih penting daripada pencapaian target-target gereja yang cuma menimbulkan kepuasan perasaan, kekaguman dan iri hati. "... keinginan daging, keinginan mata, serta keangkuhan hidup bukanlah berasal dari Bapa ... (I Yoh2:15).

Daftar Konselor

Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
Esther Susabda, Ph.D.
Dr. Ir. Asriningrum Utami
Lanny Pranata, M.Th.
Siska Tampenawas, M.Th.
Lucia Indrakusuma, M.A.
Esther Gunawan, M.Th.
Vivi Handoyo, M.Th.
Debby M. Soeseno, M.Th.
Suherni Santoso, M.A.
Yohanna P. Siahaan, M.Th.
Yonathan A. Goei, Ph.D.
Sandra Mayawati, M.Th.
Suzanna Sibuea, M.Th.
Dan lain-lain.

Konseling Online

Jadwal Konseling Online
Senin-Jumat
(Kecuali Hari Libur)
10.30-12.00 WIB dan 20.00-22.00 WIB

Tentang Kami

Kontak Info

STT Reformed Indonesia (STTRI, dulu STTRII)
Jl. Kemang Utara IX/10, Warung Buncit
Jakarta Selatan, 12760
(Peta lokasi bisa dilihat/diunduh di sini.)

Telp            : (021) 7982819, 7990357
Fax            : (021) 7987437
Email          : reformed@idola.net.id
Website      : www.reformedindonesia.ac.id
    www.konselingkristen.org
Bank          : CIMB Niaga (Cabang Kemang)
No. Acc.     : 800073329000 (Rp.)
                      253.02.00081.001 (USD)
A/n              : Yayasan Lembaga Reformed Indonesia